Tes Darah Menunjukkan Sejauh Mana CoronaVirus Menyebar

Diterjemahkan dari artikel asli berbahasa Jerman : https://www.heise.de/hintergrund/Blutuntersuchung-zeigt-tatsaechliche-Coronavirus-Verbreitung-4686900.html

Oleh : Reza Ervani (reza@rumahilmu.or.id)

Untuk menentukan seberapa luas penyebaran coronavirus, kita mesti mengetahui jumlah nyata infeksi yang terjadi. Dikarenakan banyak orang yang terinfeksi tetapi hanya menunjukkan gejala kecil atau bahkan tidak ada gejala sama sekali.

Saat ini sebuah tim dari Icahn School of Medicine di New York telah mengembangkan sebuah tes yang dapat mengidentifikasi orang-orang yang tidak menunjukkan gejala virus tersebut.  Tes deteksi itu sebagaimana dijelaskan di publikasi preliminary MedRxiv mengamati antibodi terhadap coronavirus pada sampel darah, hampir sama dengan apa yang sering dilakukan untuk pengujian deteksi HIV.

Pengujian seperti ini menunjukkan apakah sistem imun seseorang telah muncul saat kontak dengan virus.

Di sisi lain, informasi tentang berapa banyak orang yang sebenarnya terinfeksi juga adalah hal yang penting untuk memodelkan penyebaran penyakit sehingga prognosa yang dilakukan bisa lebih akurat. Pemerintah juga memiliki kebutuhan yang mendesak untuk mengetahui angka tersebut guna memutuskan seberapa jauh penanganan yang harus dilakukan pada populasi yang ada.

Corona virus terbaru telah membunuh lebih dari  10,000 orang di seluruh dunia.  Data pada link ini menunjukkan sekitar 467.500 kasus terkonfirmasi dan menunjukkan tingkat kematian yang mengejutkan, yakni sekitar 4 persen.

Umumnya tingkat kematian lebih rendah atau bahkan sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah infeksi yang terjadi. Sayangnya, para epidemologis tidak dapat memberikan gambaran yang presisi dikarenakan banyak orang dengan gejala ringan tidak pergi ke rumah sakit atau tidak menunjukkan gejala apapun. Intinya, para pemodel memiliki data yang minim untuk mengukur tingkat kematian. Jadi kemudian dibandingkanlah jumlah 1 orang yang meninggal dengan seluruh angka infeksi yang terjadi.

Tidak diketahuinya jumlah nyata orang yang terinfeksi merupakan masalah utama untuk menentukan tingkat penanganan. John Ioannids dari Stanford University berpendapat di situs bioteknologi Stat News pada pertengahan Maret bahwa tingkat kematian sebenarnya dapat lebih rendah daripada flu musiman. Jika ini merupakan kasus sesungguhnya, maka “sistem penanganan draconian” dapat diterapkan di seluruh dunia terkait data “yang sangat tidak dapat diandalkan”, demikian pendapat para peneliti.

Beberapa peneliti dari Inggris, Amerika Serikat dan China juga menulis jurnal di situs Science , hanya satu dari lima atau bahkan satu dari sepuluh infeksi sesungguhnya yang bisa didokumentasikan di awal kasus.

Amerika Serikat dan negara-negara lain saat ini sedang mengintensifkan usaha mereka untuk menguji orang-orang dengan lebih cepat. Pengujian diagnosa yang baru menggunakan metode yang disebut Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk melihat lebih cepat material genetik dari virus dari sampel usap di hidung atau tenggorokan. Hal ini dilakukan pada orang dengan gejala flu yang mengkhawatirkan untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi virus corona yang baru.

Pengujian terbaru ini juga mengungkapkan apakah seseorang pernah berinteraksi dengan virus itu atau tidak – setidaknya dalam rentang sebulan. Jika seseorang terpapar, darah mereka seharusnya sudah mengandung antibodi terhadap virus tersebut. Team Icahn – dipimpin oleh virologis Florian Krammer mengatakan bahwa pengujian terbaru tersebut dapat digunakan untuk menemukan orang yang telah memiliki imun, yang kemudian dapat mendonasikan darahnya yang sudah mengandung antibodi kepada orang-orang di ICU, misalnya, untuk menguatkan imunitas mereka.

Sebagai tambahan, para dokter, perawat dan tenaga kesehatan dapat juga mengetahui apakah mereka sudah terpapar. Menurut Krammer, mereka yang diharapkan memiliki imunitas dari hasil pengujian secara teori dapat maju ke garda terdepan dan melakukan pekerjaan-pekerjaan beresiko seperti melakukan intubasi terhadap pasien yang terinfeksi tanpa harus khawatir ikut terinfeksi.

Pusat saintifik lain di Singapura , sebagai contoh, juga sedang berusaha membuat tes antibodi, sebagaimana juga  beberapa Perusahaan Amerika Serikat yang selama ini menjual berbagai macam produk kepada para peneliti. Pusat Kendali dan Pencegahan Wabah (CDC) Amerika Serikat, juga mengembangkan pengujian deteksi antibodi.

Dalam versi mereka, tim Icahn pertama-tama membuat salinan dari apa yang disebut protein paku (spike protein) pada permukaan COVID-19. Protein ini bersifat immunogenik, sehingga sistem pertahanan tubuh mengenalinya sebagai benda asing dan kemudian membuat antibodi untuk menangkalnya. Sampel darah kemudian dipaparkan kepada spike protein tersebut untuk pengujian. Jika antibodi ada dalam sampel darah, mereka akan mengikat paku-paku yang ada dan menimbulkan reaksi berwarna yang mengindikasikan adanya serangan.

Tim Icahn menguji sistem pengujian mereka menggunakan sampel darah yang dikumpulkan pada masa awal serangan Corona di China dan darah dari tiga kasus coronavirus aktual. Menurut Krammer, pengujian ini dapat mendeteksi respon tubuh terhadap infeksi dengan cepat hingga “tiga hari setelah gejala muncul”.

Untuk mengetahui pengaruh sesungguhnya dari infeksi, langkah berikutnya bagi para peneliti di New York dan dimanapun adalah menguji sampel darah dari sejumlah besar orang di area serangan. Meskipun ini tentu membutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut Krammer, usaha untuk melakukan pengujian yang lebih luas “barulah dimulai”.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*