Bagaimana Google Map Mempersulit Navigasi Warga Tepi Barat (Bagian Kedua)
Alih Bahasa dan Kompilasi : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Bagaimana Google Map Mempersulit Navigasi Warga Tepi Barat ini masuk dalam Kategori Artikel dan Berita
Buttu, sering bepergian ke kota Ramallah di Tepi Barat dari rumahnya di Haifa, Israel, untuk bekerja dan mengunjungi teman-teman. Dia mengatakan bahwa Google Maps telah menyesatkannya berkali-kali dalam beberapa tahun terakhir. “Saya pernah disuruh mengemudi langsung ke jalan buntu, disana ada tembok yang sudah ada sejak 2003,” katanya.
Orang lain juga mengalami hal yang sama, yakni masuk ke jalan yang terhalang tembok tersebut. Lokasinya terletak dekat pos pemeriksaan Qalandia yang memisahkan Yerusalem dari Tepi Barat. Bahkan dikatakan hampir menabraknya telah menjadi semacam ujian hidup.
“Saya pernah mencoba menuju sebuah kantor di sebuah lingkungan di Yerusalem Timur, dan Google Maps benar-benar gagal memberi petunjuk,” kata Leila, yang bekerja untuk sebuah perusahaan AS secara jarak jauh dari Ramallah. Dia meminta kami hanya menggunakan nama depannya demi alasan privasi. “Aplikasi itu mengarahkan saya ke jalan yang sepenuhnya terputus oleh tembok.”
Bourdeau dari Google mengatakan kepada WIRED bahwa perusahaan sedang menyelidiki rute tersebut dan akan melakukan pembaruan jika dapat memverifikasi situasi tersebut berdasarkan data yang dapat dipercaya.
Bahkan sebelum perang, pengguna Google Maps di Tepi Barat mengatakan mereka sudah terbiasa menerima petunjuk arah yang berpotensi tidak aman.
Salah satu masalah yang terus muncul adalah fakta bahwa Google tidak membedakan antara jalan yang tidak dibatasi dan yang hanya boleh digunakan oleh orang Israel, seperti jalan yang mengarah ke dan dari pemukiman Israel yang seharusnya tidak boleh dimasuki oleh orang Palestina.
Pada rute dari Haifa ke Ramallah, Google Maps pernah mengarahkan Buttu ke sebuah gerbang tertutup, di mana dia mengatakan tentara Israel mendekati mobilnya dengan senjata terarah ke arahnya. “Saya harus menjelaskan bahwa saya melakukan kesalahan,” katanya. “Google mengoptimalkan rute melalui jalan pemukim, yang bagi saya sebagai seorang Palestina, bisa sangat berbahaya.”
Bourdeau mengatakan bahwa Google tidak membedakan antara rute Palestina dan Israel, karena itu akan memerlukan pengetahuan tentang informasi pribadi pengguna, seperti kewarganegaraan mereka.
Ketika Google Maps mengarahkannya ke pemukiman, Buttu mengatakan dia berbicara dalam bahasa Inggris dengan harapan bisa menyamar sebagai orang asing yang tersesat. Pengguna Palestina lainnya mengatakan kepada WIRED bahwa ketika mereka secara tak terduga berada di daerah yang berisiko, mereka berusaha untuk berbalik arah atau mundur secepat mungkin.
Dalam kasus lain, Google Maps menolak memberikan petunjuk arah sama sekali, seperti saat bernavigasi antar kota di Tepi Barat, termasuk Hebron dan Ramallah. Sebagai gantinya, aplikasi itu memberitahukan mereka bahwa “tidak dapat menghitung petunjuk arah untuk mengemudi.” (WIRED berhasil mereplikasi hasil yang sama.)
Salah satu karyawan Google yang saat ini bekerja mengatakan bahwa itu terjadi karena Google belum berinvestasi untuk memungkinkan petunjuk arah antar tiga wilayah administrasi di Tepi Barat, dua di antaranya secara resmi lebih banyak dikendalikan oleh pihak berwenang Israel. Bourdeau, juru bicara Google, mengatakan perusahaan sedang bekerja untuk mengatasi masalah ini.
Tantangan Baru
Meskipun ada kekurangannya, pengguna mengatakan kepada WIRED bahwa mereka sebelumnya masih merasa Google Maps bermanfaat di wilayah tersebut, terutama ketika mereka bepergian ke tempat-tempat yang tidak dikenal.
Namun, sejak perang dimulai, mereka merasa aplikasi ini menjadi tidak dapat ditoleransi lagi kesalahannya. Tak lama etelah pertempuran dimulai, Google mematikan kemampuan untuk melihat gambaran umum lalu lintas langsung di wilayah tersebut demi melindungi “keamanan komunitas lokal.”
Pengguna sekarang harus memasukkan lokasi spesifik untuk melihat kondisi lalu lintas di sepanjang rute mereka, yang menambah jarak tempuh bagi sebagian dari mereka.
Dua karyawan Google yang saat ini bekerja juga mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena kondisi yang berubah di lapangan selama perang dan peningkatan spam yang cenderung muncul setelah konflik,
Google belum menindak banyak editan yang disarankan oleh karyawan dan pengemudi Tepi Barat, yang memberi tahu raksasa teknologi tersebut tentang masalah seperti jalan atau tempat yang hilang. Hal ini menyebabkan data jalan di aplikasi menjadi usang selama setahun terakhir. Bourdeau mengatakan Google menerapkan pembaruan ketika saran dapat diverifikasi melalui sumber yang dapat diandalkan.
Kontribusi pengguna sangat penting karena pejabat Palestina sering kali menyesuaikan peraturan jalan untuk menjaga kelancaran lalu lintas di jalan-jalan sempit dan berliku yang melintasi lingkungan perkotaan padat di Tepi Barat. “Mereka akan mengubah jalan dua arah menjadi satu arah atau sebaliknya,” kata Buttu, yang merujuk khususnya pada pejabat di Ramallah. “Hampir setiap kali saya pergi, jalan tersebut telah berubah.”
Jalal Abukhater, manajer advokasi untuk 7amleh yang sering mengunjungi kota-kota di Tepi Barat, mengatakan dia bisa mengenali pengemudi yang dia duga menggunakan Google Maps karena mereka mengarah ke jalan satu arah yang salah. “Itu sangat nampak sekali kecanggungannya,” katanya.
Masalah lainnya adalah bahwa Google Maps, seperti layanan navigasi lainnya, kesulitan untuk mengidentifikasi lokasi pengguna karena pasukan Israel mengganggu sinyal GPS di wilayah tersebut untuk menghalangi pejuang Hamas.
“Sekali atau dua kali sebelum perang, googlemap tidak dapat mengetahui di mana saya berada,” kata Leila. Seringkali Google Maps menyebutkan bahwa dia sedang berada di Beirut, Lebanon, atau Amman, Yordania, bukan di Tepi Barat, katanya.
Bourdeau mengatakan Google tidak bisa berspekulasi mengenai dampak dari gangguan sinyal karena mereka tidak tahu kapan atau di mana itu terjadi. Seorang juru bicara militer Israel menolak untuk berkomentar.
Leila dan pengguna lainnya mengatakan aplikasi navigasi alternatif belum tentu lebih baik. Beberapa dari mereka mengatakan kepada WIRED bahwa Apple Maps berguna di beberapa kota di Tepi Barat, tetapi hanya tersedia untuk iPhone, yang relatif jarang di wilayah tersebut.
Waze, yang dimiliki oleh Google, adalah opsi lainnya, tetapi pengguna yang berbicara dengan WIRED mengatakan mereka umumnya menghindari aplikasi ini karena didirikan di Israel. Bourdeau mengatakan tim Waze tersebar di seluruh dunia.
Banyak orang Palestina beralih ke saluran Telegram, obrolan WhatsApp, grup Facebook, dan aplikasi independen bernama Azmeh—yang berarti kemacetan dalam bahasa Arab—di mana mereka bersama-sama berbagi pembaruan tentang masalah lalu lintas dan lokasi pos pemeriksaan baru. Informasi tersebut kemudian dapat digunakan untuk merencanakan rute secara manual.
Namun, sifat perjalanan yang tidak dapat diprediksi di Tepi Barat membuat orang masih perlu menambahkan waktu cadangan hingga tiga jam dalam jadwal mereka, kata Abukhater.
Cara-cara ini masih gagal. Pada bulan September, Leila harus menghabiskan 30 menit di telepon dengan seseorang yang mengetahui daerah tersebut dengan baik untuk membantu menemukan rumah seorang teman di daerah yang tidak dikenalnya di Jericho, Tepi Barat.
Seorang pekerja teknologi Palestina yang tinggal di Israel, yang berbicara dengan syarat anonim demi melindungi pekerjaan mereka, mengatakan bahwa bulan lalu perjalanan yang seharusnya bisa ditempuh dalam satu jam akhirnya memakan waktu lima jam karena pos pemeriksaan telah ditutup lebih awal dari yang diperkirakan dan Google Maps tidak memberikan indikasi bahwa itu terjadi.
Buttu, pengacara Palestina, bermimpi tentang hari di mana Google Maps mengembangkan fitur yang terasa inklusif bagi komunitasnya. Sekitar sebulan yang lalu, katanya, dia menggunakan aplikasi tersebut saat mengemudi di Tepi Barat untuk mencari pom bensin terdekat dengan harapan menemukan toilet. Buttu mengatakan pom bensin itu menolak temannya untuk menggunakan fasilitas tersebut, yang diduga karena dia adalah orang Palestina.
Google Maps memungkinkan bisnis untuk memberi label diri mereka sebagai ramah LGBTQ atau dimiliki oleh wanita. Bagi Buttu, label serupa di aplikasi untuk tempat-tempat di Tepi Barat yang menandakan mereka sebagai ramah Palestina akan menjadi bukan hanya sebuah isyarat kecil yang disambut baik dari raksasa teknologi tersebut, tetapi juga mungkin perbaikan vital untuk salah satu tempat yang paling sulit dijangkau di dunia. (reza@rezaervani.com)
Leave a Reply